Pages

Wednesday, March 2, 2011

Membedah kebijakan Maritime Security AS di Indonesia

Amphibious dock landing ship USS Germantown (LSD 42). (Foto: USN/Mass Communication Specialist 1st Class Richard Doolin)
Kamis, 3 Maret 2011 13:33 WIB | 164 Views
Jakarta (ANTARA News) - Laksamana Patrick M.Walsh, Komandan Armada Pasifik AS, belum lama berselang bertamu ke Indonesia untuk membuka peluang kolaborasi dengan mitra-mitra domestik dalam rangka memperkuat kemitraan yang telah terjalin.

Pada tataran yang lebih tinggi, kedatangannya merupakan upaya penjajakan terhadap kemungkinan kerja sama dalam berbagai pelatihan pada masa depan (SINDO, 17/1).

Di lain pihak, seperti diungkapkan oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, AS telah membantu Indonesia dalam proyek integrated maritime surveillance system untuk Selat Malaka dan Laut Sulawesi (Kompas, 22/1).

Selain komitmen untuk meningkatkan kerja sama di bidang pelatihan tadi, tidak terungkap dari pemimpin yang mengendalikan kurang-lebih 95 kapal tempur, 56 kapal pendukung, 41 kapal selam, 1.987 pesawat tempur, 106.000 pelaut serta 19.000 pekerja sipil itu nasib berbagai kebijakan maritime security AS yang juga telah ditawarkan kepada Indonesia sebelumnya.

Pertanyaannya kini, apa saja kebijakan maritime security negeri Paman Sam yang telah ditawarkan kepada Indonesia itu? Dan, bagaimana sikap kita terhadap tawaran mereka?

Kebijakan maritime security AS
Ada berbagai kebijakan maritime security yang ditawarkan ke Indonesia oleh AS. Tawaran itu sebetulnya tidak khusus ditujukan kepada kita, melainkan ditujukan kepada banyak pihak.

Maritime security secara umum dimaknai sebagai perpaduan (convergence) antara maritime safety atau keselamatan maritim dan maritime security itu sendiri.

Mengutip Barry Desker, dekan S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, Maritime safety adalah measure employed by owners, operators and administrators of vessels, port facilities, offshore installations, and other marine organizations or establishments to prevent or minimize the occurence of mishap or incident at the sea that may be caused by sub-standard ships, unqualified crew or operator error.

Sementara, maritime security merupakan measure employed by owners, operators and administrators of vessels, port facilities, offshore installations, and other marine organizations or establishments to protect against seizure, sabotage, piracy, pilferage, annoyance or surprise.

Kebijakan yang pertama, container security initiative (CSI) yang diluncurkan pada 2002 oleh Biro Bea Cukai dan Perbatasan (CBP). Obyek kebijakan ini adalah seluruh peti kemas yang masuk ke AS. CSI diadopsi karena, menurut sistem berpikir pihak keamanan AS, organisasi teroris makin hari makin bersemangat menghancurkan infrastruktur ekonomi negara sasaran dalam upaya mencapai target politis mereka.

Ini bisa jadi peti kemas yang masuk ke AS bukan berisi garmen, furnitur atau komoditas lainnya, tetapi bom, kuman penyakit atau berbagai bahan berbahaya lainnya. Saat ini sekitar 90 persen perdagangan dunia dikapalkan dalam peti kemas. Setengahnya, atau kurang-lebih 7 juta unit dibongkar di berbagai pelabuhan di AS setiap tahunnya. CSI memastikan bukan benda-benda terakhir yang masuk ke daratan AS.

Pemeriksaan terhadap peti kemas yang akan diekspor ke AS dilakukan di pelabuhan muat (port of origin) oleh tim dari CBP, dan tentu saja melibatkan tandem-nya, yakni Penjaga Pantai AS atau USCG, bekerjasama dengan instansi setempat.

Pemeriksaan mencakup penggunaan sumberdaya intelijen, teknologi informasi, detektor sinar gamma. Dan, terakhir, pemanfaatan peti kemas yang memiliki  kepekaan terhadap berbagai upaya modifikasi. Kini 47 pelabuhan ikut dalam program ini.

Pada Juni 2002, Organisasi Pabean Internasional atau World Customs Organization secara aklamasi mengesahkan sebuah resolusi yang dapat dijadikan dasar hukum bagi 161 anggotanya untuk penerapan sistem pemeriksaan peti kemas yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara selain yang diterapkan dalam CSI.

Kebijakan kedua, proliferation security initiative (PSI). Kebijakan ini berkenaan dengan kewenangan negara pihak-ketiga untuk melakukan pencegatan atau interdiction terhadap kapal berkebangsaan tertentu di laut lepas yang dicurigai membawa senjata atau bahan nuklir.

PSI dikembangkan oleh John R. Bolton, mantan Wakil Menteri Pertahanan AS bidang Pengendalian Senjata dan Keamanan Internasional dan Duta Besar untuk PBB. Ia mengusulkan kebijakan ini menyusul ditemukannya 15 rudal Scud di dalam kapal barang Korea Utara yang tengah berada di perairan internasional dan karenanya tidak bisa ditangkap. Secara resmi PSI diumumkan oleh Presiden  George W. Bush pada 31  Mei 2003 di Krakow, Polandia.

Saat ini PSI telah diikuti oleh lebih 90 negara, mencakup, antara lain, Rusia, Kanada, Inggris, Australia, Prancis, Jerman, Italia, Portugal, Spanyol, Japan, Belanda, Polandia, dan Norwegia. Semantara itu, sembilan negara (Bahama, Belize, Kroatia, Siprus, Liberia, Malta, Kepulauan Marshall, Mongolia dan Panama) telah menandatangani perjanjian bilateral Mutual Shipboarding Pacts dengan AS. Dengan penandatanganan itu, USCG diperbolehkan menaiki kapal yang mengibarkan bendera negara tersebut.

Kebijakan ketiga, global maritime partnership initiative (GMP). Kebijakan ini merupakan buah pikiran Laksamana Michael Mullen, mantan Chief of Naval Operation/Kepala Staf AL AS. Di kalangan kemaritiman internasional kebijakan ini disebut juga dengan ”AL berkekuatan 1.000 kapal” atau 1.000-ship Navy. Ada juga yang menyebutnya dengan global maritime network.

Secara umum GMP merupakan sebuah forum kerja sama antara lembaga maritime security (angkatan laut, coast guard atau lainnya) di dunia yang diarahkan untuk menciptakan sebuah tatanan maritim yang bebas dari perompakan, senjata nuklir dan berbagai ancaman lainnya yang menjadikan laut sebagai mediumnya.

Kerja sama ini diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi, intelijen dan sebagainya. Tentu, sebagai pengusung program, AS bertindak sebagai pemimpinnya.

Ketika pertama digagas, Australia langsung menyatakan dukungannya. Sayangnya, tidak diketahui sudah berapa negara yang mengikuti langkah negeri kanguru itu karena komunitas maritim internasional hingga kini masih memperdebatkan inisiatif ini.

Kebijakan maritime security AS keempat adalah regional maritime security initiative atau RMSI. Kebijakan ini sejatinya merupakan bagian dari proses transformasi pertahanan AS dan strategi baru pangkalan AL AS. Kebijakan ini dijalankan dengan membangun kerja sama antara AL AS dengan mitra atau aliansinya melalui pelatihan, penggunaan teknologi informasi dan tukar-menukar informasi (biasanya informasi intelijen).

Sikap Indonesia
Sikap Indonesia terhadap berbagai kebijakan maritime security AS yang ada cenderung beragam. Maksudnya, pada kebijakan tertentu menolak sementara kebijakan yang lain mendukung. Misalnya, Indonesia tidak terlibat alias menolak kebijakan PSI, sama seperti sikap yang diambil oleh Cina, Malaysia dan Iran.

Dalam hal CSI, jika kita berkunjung ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, kita dapat melihat fasilitas detektor terpasang di sana. Hanya saja, hingga saat ini pelabuhan itu tetap saja masuk dalam daftar kawasan perang (war risk zone) yang dikeluarkan oleh Joint War Committee/JWC, sebuah kumpulan asuransi kapal yang berbasis di London, Inggris.

Yang cukup aneh, Pelabuhan Tanjung Priok, juga pelabuhan besar lainnya di Tanah Air, telah menerapkan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code, kebijakan maritime security AS yang lain dan telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasional atau IMO, namun hingga kini USCG masih memasukkan Tanjung Priok dalam kawasan rawan. Kerusuhan Koja makin memperparah penilaian ini.

Terkait dengan GMP, Indonesia dapat dipastikan tidak terlibat di dalamnya karena keterbatasan armada, baik milik TNI-AL maupun instansi penegakan hukum di laut lainnya. Sementara, Indonesia menolak proposal RMSI yang diajukan oleh AS dengan alasan kedaulatan negara.

Tapi, jangan lupa, berbagai program pelatihan yang dinikmati oleh TNI-AL serta berbagai perangkat teknologi informasi yang disediakan sesungguhnya merupakan bagian dari kebijakan RMSI. Kalau begini, siapa yang pintar?
(***)


*) Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Antara

No comments:

Post a Comment

DISCLAIMER : KOMENTAR DI BLOG INI BUKAN MEWAKILI ADMIN INDONESIA DEFENCE , MELAINKAN KOMENTAR PRIBADI PARA BLOGERSISTA
KOMENTAR POSITIF OK