JAKARTA – Pengamat militer dari Universitas Indonesia (UI), Edy Prasetyono, mengatakan alih teknologi dalam pembuatan alat utama sistem senjata (alutsista) membutuhkan tahapan dan waktu yang tidak singkat. Alih teknologi harus dilakukan secara bertahap agar industri pertahanan dalam negeri bisa memperkuat alutsista yang dibutuhkan TNI. “Pada dasarnya, teknologi, apalagi teknologi dalam bidang pembuatan alutsista, harus diupayakan sendiri.
Kita harus mampu belajar dari proses, lalu mengembangkan sendiri,” kata Edy kepada Koran Jakarta, di Jakarta, Minggu (23/1). Tak hanya membuat sendiri, Edy juga berharap Indonesia seharusnya bisa mempersiapkan infrastrukturnya, keberlanjutannya, termasuk urusan finansial. “Jika mungkin, dalam hal pemasarannya,” ujarnya. Secara terpisah, Kepala Staf TNI AL (Kasal) Laksamana Soeparno mengatakan TNI AL berencana mengembangkan ka pal selam asli Indonesia secara bertahap.
Untuk mencapai tahap itu, TNI AL berencana melakukan transfer teknologi sedikit demi sedikit dari lima proyek kapal selam yang akan dibuat. “Satu kapal selam yang akan kita adakan pada tahun ini memang murni dari luar negeri dan diharapkan bisa selesai akhir tahun,” katanya. Untuk empat kapal selam selanjutnya, akan mulai dilakukan transfer teknologi. Soeparno mengandaikan, untuk pengadaan kapal selam kedua, mungkin baru seperempatnya yang merupakan produksi dalam negeri.
Tiga perempatnya masih berasal dari luar negeri. Pada pembuatan kapal selam ketiga, porsi produksi dalam negeri meningkat menjadi dua perempat. Dan pada pembuatan kapal selam kelima barulah murni dibuat di dalam negeri. “Saya berharap ahliahli di Indonesia sudah bisa membuat kapal selam sendiri pada pengadaan kapal selam kelima,” kata Soeparno. Alih teknologi secara bertahap ini dilakukan karena kapal selam memiliki spesifi kasi kerumitan tersendiri. Kapal selam juga merupakan senjata strategis yang teknologinya cukup tinggi sehingga sangat sulit untuk langsung membuatnya di dalam negeri.
Untuk negara yang akan dituju dalam pembangunan kapal selam ini, Soeparno mengaku belum menentukan. Namun, dia menegaskan bisa jadi negara yang akan diajak bekerja sama dalam pengadaan pertama hingga keempat bisa berganti- ganti. “Bergantung pada kesanggupan mereka dalam transfer teknologi,” ujarnya. Kerja Sama Untuk alutsista Angkatan Udara, TNI AU belum mau menerima tawaran keja sama pengadaan pesawat tempur dengan China dan Pakistan. Kepala Staf TNI (Kasau) Marsekal Imam Sufaat mengakui memang ada permintaan kerja sama dari kedua negara itu, namun masih sebatas tawaran.
“Jika pertimbangan politik dan pertimbangan lainnya dinilai positif, mungkin kerja sama (dengan kedua negara itu) akan ditindaklanjuti. Saat ini kita akan fokus mengembangkan pesawat tempur jenis KFX dengan Korea Selatan,” kata Imam. Dia mengatakan dalam pembuatan pesawat KFX, Indonesia akan ikut dengan tim Korea Selatan, mulai dari opsi keuangan hingga opsi teknik. Prototipe pesawat diharapkan bisa selesai pada 2020 mendatang, dan bisa dikembangkan sendiri. Imam mengatakan TNI AU memang membutuhkan pesawat tempur yang spesifi kasinya melebihi F16 tetapi tidak lebih canggih dari F35.
Pesawat tempur jenis KFX dinilai merupakan jawaban dari kebutuhan itu. Edy mengatakan khusus untuk kerja sama pengadaan pesawat tempur jenis KFX yang baru bisa menciptakan prototipe pada 2020, Edy melihat hal itu merupakan hal yang wajar walau pun saat ini pesawat jenis KFX tak secanggih pesawat F35 maupun pesawat yang baru saja diluncurkan China, J20, yang merupakan produk generasi kelima. “Wajar, sebab harus melalui serangkaian uji coba sesuai kebutuhan dan keandalan yang tinggi. Waktu yang lama pun wajar dalam produksi alutsista,” katanya.
Sumber: KORAN JAKARTA
No comments:
Post a Comment
DISCLAIMER : KOMENTAR DI BLOG INI BUKAN MEWAKILI ADMIN INDONESIA DEFENCE , MELAINKAN KOMENTAR PRIBADI PARA BLOGERSISTA
KOMENTAR POSITIF OK