Pages

Monday, August 2, 2010

Lapan Siap Kembangkan Rudal

Beberapa varian rudal yang dikembangkan LAPAN (photo : Karbol-Militaryphotos)

Embargo yang dilancarkan AS kepada Indonesia selama bertahun-tahun toh membuat Washington pusing sendiri. Terakhir, AS lewat MTCR menyorot tajam manuver SBY yang berhasil meminta Cina untuk membantu membangun industri rudal taktis jarak dekat dan menengah. Bagaimana peluangnya? Berikut hasil penelusuran Angkasa.

Harus diakui, sepanjang 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan berbagai langkah yang akan menumbuhkan kembali wibawa Indonesia di kawasan Asia. Setelah berhasil menggulung gembong teroris Dr Azahari dan mendesak AS mencabut embargo peralatan militer, dibawah arahannya, Pemerintah RI juga telah berhasil merangkul Cina untuk mau mendukung pendirian industri roket dan rudal untuk keperluan pertahanan.

Keinginan tersebut dikemukakan secara langsung oleh Kepala Negara saat menemui Presiden Cina Hu Jintao, Juli 2005 di Beijing. Transfer teknologi roket dan peluru kendali merupakan salah satu yang dijajaki dalam rangkaian kerjasama kemitraan dengan Cina. Hu Jintao sendiri menyambut baik dan bersedia memenuhi permintaan ini sebagai salah satu persyaratan di balik kontrak pembelian rudal untuk Indonesia.

Hu Jintao menyatakan, kesediaan mendukung industri Indonesia sebagai “new era” dalam hubungan kedua negara. Sementara bagi SBY, dukungan Cina bagi program jangka panjang ini merupakan “strategic partnership”. Kerjasama dan transfer teknologi ini ditargetkan selesai dalam waktu 10 tahun.

Langkah SBY kontan menuai sorotan tajam negara-negara Barat. Pasalnya, dalam jajaran pembuat roket dan rudal yang jumlahnya tak banyak, Cina tergolong yang paling disegani di dunia. Mereka telah menguasai penuh teknologi motor roket, sistem kendali, dan gyrscope — teknologi inti dari industri roket balistik dan rudal. Lebih dari iru Cina bahkan telah membuat sendiri rudal balistik antar benua. Transfer teknologi rudal ini dikuatirkan bisa disalahgunakan TNI untuk mengulang kembali kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia.

Begitu pun, sejauh ini, belum diketahui persis roket balistik atau rudal jenis apa yang ditaksir Indonesia. Namun, Menhan Juwono Sudarsono dan Dirjen Strategi Pertahanan Dephan Mayjen Dadi Susanto sempat menyebut komponen dan spesifikasi yang diminati RI.

Mengutip situs www.danwei.org, Menhan Juwono Sudarsono (1/8) mengungkap, Indonesia memerlukan teknologi propulsi dam sistem kendali untuk pembuatan rudal berjarak jangkau hingga 150 km yang akan dipasang di kapal perang maupun di basis-basis darat. Kemandirian dalam industri roket dan rudal, diharapkan, akan mendongkrak kembali deteren Indonesia setelah merosot tajam akibat embargo AS.

Masih menurut sumber yang sama, Dadi Susanto mengungkap, Indonesia berminat membeli dan mentransfer teknologi rudal permukaan ke permukaan. Di samping rudal, Indonesia juga berminat membeli pesawat, kapal, dan amunisi.

Selain di bidang persenjataan, Indonesia-Cina sepakat pula melakukan kerjasama di bidang industri baja, pesawat terbang, dan perkapalan. “Dalam kerjasama teknologi di bidang pertahanan, bila kita bisa memproduksinya, kita akan produksi di dalam negeri,” tegasnya seraya meminta kepada sejumlah menteri, bahwa kemitraan strategis dengan berbagai negara tidak hanya berhenti pada penandatanganan kerja sama.

Sejauh ini, dalam inventori rudal permukaan ke permukaan, Indonesia pernah memiliki SA-2 Guideline (dasawarsa 1960-an), Rapier Mk-1 (habis masa pakainya menjelang tahun 2000), MM38 Exocet, dan Harpoon. Rudal-rudal ini dioperasikan oleh TNI AD dan TNI AL.

Tekanan MTCR

Seperti dialami banyak negara berkembang, Indonesia selalu ragu membuat sendiri roket atau rudal untuk kepentingan pertahanan karena takut menghadapi tekanan MTCR atau Missile Technology Control Regime. Di bawah kendali negara-negara G-7, mereka kerap melancarkan sanksi ekonomi dan politik kepada negara-negara yang ketahuan mengimpor dan mengekspor rudal termasuk komponen dan sub-sistemnya.

Kini SBY tampaknya sepakat memberanikan diri maju karena keadaan dan kondisi peralatan militer di dalam negeri sudah begitu mengkhawatirkan. Lagipula, roket atau rudal yang akan dikembangkan toh masih berada dalam batas yang diizinkan MTCR. Badan Pengendali Teknologi Rudal ini melarang pembuatan rudal, pesawat tanpa awak, dan segala teknologi sejenis yang bisa melontarkan muatan seberat 500 kg sejauh minimal 300 km. Hal ini dinyatakan karena dikuatirkan bisa disalahgunakan untuk penggelaran senjata pemusnah massal.

Harus diakui, semakin panjangnya daftar upaya pelanggaran wilayah kedaulatan oleh kekuatan asing layak menjadi dasar dari keinginan RI untuk mandiri di bidang industri persenjataan.
SBY sendiri tak asal ucap. Sepulang dari Cina, ia segera memanggil sejumlah menteri. Ia juga langsung membentuk Tim Nasional Roket Indonesia yang harus aktif memacu seluruh potensi di dalam negeri. Di bawah koordinasi Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, tim ini bahkan segera membuat masterplan pengembangan roket.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sebagai satu-satunya aset nasional yang telah melakukan riset di bidang peroketan sejak dasawarsa 1960-an dilibatkan secara penuh. Menristek Dr Kusmayanto Kadiman berandai-andai, jika anggaran pertahanan 2005 sekitar Rp 24 triliun, mengambil satu triliun rupiah saja untuk riset peroketan dinilai sudah cukup. Selain Lapan, tim ini kabarnya juga akan melibatkan PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, LIPI, dan Lembaga Elektronika Nasional.

Lapan pun langsung digenjot melakukan uji peluncuran dan penembakan roket, lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Antara Juni hingga Desember lalu saja mereka melakukan sampai lima kali. Dua kali dilakukan di Pusat Peluncuran Roket Pamengpeuk, Jawa Barat, dan tiga kali di lokasi uji penembakan roket Pandan Wangi, Lumajang, Jawa Timur.

“Ini sudah termasuk luar biasa,” ungkap Deputi Ketua Lapan bidang Teknologi Dirgantara, Dr Ing. Agus Nuryanto kepada Angkasa di Pemengpeuk, Desember silam. Maklum, setahun paling banter hanya satu kali uji coba. Matanya berbinar, namun ia enggan menjelaskan soal detail roket kemiliteran yang diminati TNI.

“Itu urusan TNI sebagai user. Lapan hanya mengurusi desain roket,” timpalnya.
Nuryanto hanya mau mendiskripsikan bahwa Lapan sejauh ini telah mampu membuat roket dengan tingkat keunggulan yang bisa disimak dari diameter dan jarak jelajah. Pertama adalah roket berdiameter 70 mm (biasa disebut RX-70) berjarak jangkau 7,9 km. Selanjutnya, roket 80 mm (RX-80) berjarak jangkau 8 km; 100 mm (RX-100) berjarak jangkau 5 km; 150 mm (RX-150) berjarak jangkau 15,5 km; serta 250 mm (RX-250) berjarak jangkau 27,9 km.

Lebih lanjut, tahun ini Lapan akan segera membuat roket berdiameter 420 m (RX-420). Roket berjarak jangkau 300 km ini diharapkan sudah meluncur pada 2007.

Dua jenis pertama layak digunakan untuk basis roket berhulu ledak yang cocok dipasang di kapal perang dan pesawat tempur. Sedang empat jenis terakhir cocok digunakan sebagai basis roket balistik jarak pendek dan menengah darat ke darat.

“Dalam program uji terdahulu kami begitu mementingkan faktor ketinggian, karena memang hanya diproyeksikan untuk melontarkan satelit. Tetapi, kini, kami fokus dengan jarak-jangkau, karena militer memang cenderung menilik dari faktor ini,” ujar seorang ilmuwan yang tak ingin disebut namanya.
Lapan telah memiliki SDM yang mumpuni dan cukup menguasai teknologi. Hanya sayangnya mereka belum bisa membuat sendiri seluruh bagian roket. Mereka, di antaranya, masih mendatangkan tabung roket dan propelan dari negara-negara yang kerap diburu MTCR. “Kucing-kucingan” ini, kabarnya, telah mengakibatkan pesanan terbaru tabung roket senilai Rp 1,6 miliar tertahan dua tahun dan belum terkirim hingga sekarang.

Kehormatan bangsa

Apa pun itu, Lapan kini tengah memusatkan perhatian pada desain roket untuk keperluan pertahanan. Baik yang diuji di Pamengpeuk maupun Pandan Wangi sepanjang 2005, fisiknya telah dirancang berbeda dengan roket-roket terdahulu yang lebih ditujukan untuk kepentingan melontarkan muatan ilmiah.

Sepintas, kedua jenis memiliki sosok hampir sama. Masing-masing berangkat dari roket berdiameter sama. Namun, khusus untuk keperluan pertahanan, segi performance jauh lebih diperhatikan. Dalam kaitan ini, agar tingkat perkenaan (keakuratan) dan jarak jangkau meningkat, ketebalan selonsong roket dan ekor nozzle dibuat lebih tipis dan ringan.

“Selain itu, propelan dan desain propulsi juga lebih disempurnakan. Dengan demikian beban yang harus ditopang menjadi lebih ringan, dan roket akan melesat lebih stabil, lebih cepat, dan lebih jauh,” tambah Agus Nuryanto.

Roket Kendali LAPAN (photo : Karbol-Militaryphotos)

Hasilnya, roket-roket tersebut memang menunjukkan perubahan performance. Dalam uji coba peluncuran Kamis, 8 Desember 2005, hampir semua roket melesat lebih cepat dan lebih stabil. Tingkat kecepatan bisa disimak dari makin pendeknya jarak waktu menembus batas kecepatan suara. RX-250, misalnya, mampu menembus kecepatan suara hanya dalam sepersekian detik. Sementara, soal stabilitas bisa dilihat dari lurusnya jejak asap yang ditinggalkan.

Dalam uji keempat di tahun 2005 tersebut, Lapan meluncurkan roket satu tingkat berbahan bakar padat RX-100, RX-70, RX-80, dan RX-250. Untuk menjadi rudal, roket-roket ini paling tidak masih memerlukan sirip yang lebih canggih, sistem kendali elektronik, dan hulu ledak. Ketiga bagian utama inilah yang akan didatangkan dari Cina.

Selain soal performance, acara uji peluncuran roket tersebut menjadi lebih menarik setelah muncul tanggapan impresif dari sejumlah petinggi TNI. Mereka tegas menginginkan agar roket-roket tersebut bisa segera diproduksi untuk memperkuat TNI. Kemandirian di bidang industri persenjataan, kata mereka, bersifat strategis dan bisa menjadikan Indonesia lebih disegani di pentas politik internasional.

“Namun, langkah yang harus ditempuh memang tak ringan. Untuk itu, pertama, harus ada pihak ketiga yang bersedia memproduksi sesuai kebutuhan TNI sebagai user. Ini tak ringan karena pada tahap pertama secara ekonomis pasti tak mendatangkan keuntungan. Namun, beban ini bisa diperingan jika Pemerintah mau ikut menanggung pendanaan,” ujar Kepala Staf Komando Operasi TNI AU, Marsekal Pertama TNI Ganjar.

Di lain pihak Asisten KSAL bidang Pengamanan, Laksamana Muda TNI Deradjatun mengungkap, jika memang Pemerintah belum siap menanggung beban kerugian, membeli persenjataan dari luar negeri bisa menjadi alternatif pilihan. Namun, pilihan seperti ini akan selalu membuat negara lain bisa membaca batas kemampuan TNI. Nilai deteren-nya menjadi kurang.

Lalu, senjata berbasis roket seperti apakah yang diinginkan TNI? Sebenarnya juga tidak muluk-muluk amat. TNI AU, misalnya, hanya tertarik pada RX-70 dan RX-80 yang bisa dikembangkan menjadi roket udara ke permukaan yang biasa di pesawat terbang. Sementara TNI AL cenderung lebih tertarik pada RX-100 dan RX-150 yang dikatakan bisa dikembangkan menjadi rudal taktis permukaan ke permukaan.

Seraya memahami kesulitan ekonomi yang masih dialami negeri ini, langkah SBY untuk membangun industri peralatan pertahanan secara mandiri bagaimana pun perlu mendapat apresiasi yang tinggi. Terobosan dan keberaniannya menjalin kerjasama dengan Cina dan sejumlah negara Timur tak lain adalah untuk menumbuhkan kembali kehormatan Indonesia di pentas internasional.

Kita belum juga tahu apakah proyek industri roket dan rudal pertahanan ini akan benar-benar terlaksana. Tetapi goodwill yang dilayangkan Pemerintah SBY sudah merupakan awal yang baik. (adr)