Pages

Wednesday, January 5, 2011

India seeks Indian Ocean supremacy with warship research

India seeks Indian Ocean supremacy with warship research


India launched a new naval research centre for warships on Tuesday, part of efforts by the South Asian giant to build its sea defences and counter the perceived threat of China in the Indian Ocean.
Defence Minister A.K. Antony laid the foundation stone for the National Institute for Research and Development in Shipbuilding (NIRDESH) in the southern state of Kerala, which will be built at a cost of six billion rupees (133 million dollars).
The facility, which will be up and running in two years, will help develop technology for "drawing board to delivery" of warships for India, a naval official said.
The Kerala unit will work independently of the national Defence Research and Development Organisation, with the aim of reducing India's dependence on military imports, which mostly come from Russia.
The 136-vessel navy said in a statement that NIRDESH would ensure India's maritime security.
"This would empower Indian navy, coastguard and other maritime security agencies in a manner befitting the country's stature and influence in the region," it said.
The facility would "ensure that the country would be self-reliant in this crucial area of defence technology," Antony added.
New Delhi is wary of growing Chinese influence around the Indian Ocean, where Beijing has funded or plans to invest in major infrastructure projects, including ports in Sri Lanka, Bangladesh and military-ruled Myanmar.
In August, two Chinese warships raised eyebrows in Delhi when they sailed to adjoining Myanmar for a rare visit to promote ties between the two allied countries.
Retired admiral Arun Prakash, a former Indian naval chief, recently warned that the Chinese navy will have more warships than the United States within a decade and urged India to speed up naval procurement.
Analysts say India falls behind China in naval firepower, but the country should strive for supremacy in the strategic Indian Ocean, a vital shipping lane connecting Asia to Europe and the Middle East.
"Just because we cannot compete with China does not mean we do not defend our interests in the Indian Ocean where we want naval supremacy," retired Indian navy rear admiral Raja Menon told AFP.
India has already begun strengthening its military presence in the Andaman archipelago, which lies south of Myanmar, as part of plans to protect its interests in the ocean.
Delhi, which wants to boost its 14-strong submarine fleet, launched its first nuclear-powered submarine in 2009 and has invested in its military shipyards to start building an aircraft carrier and stealth frigates.
It also plans to buy eight long-range maritime spy planes by 2015 besides six Franco-Spanish Scorpene submarines for which orders were placed in 2006.
According to the Stockholm International Peace Research Institute, China's military spending was the second-largest in the world, after the United States, in 2009.
KPMG consultancy firm estimates India plans to spend 112 billion dollars on defence hardware between now and 2016.
India hiked its 2010-2011 military spending by four percent to 32 billion dollars but analysts like Menon warn that the navy's share of 16 percent of the defence allocation is insufficient for funding its expansion plans.
India and China fought a brief border war in 1962 and still have unresolved territorial disputes

DEFENCE TALK

Lockheed Martin Successfully Tests First GMLRS+ Rocket

Lockheed Martin Successfully Tests First GMLRS+ Rocket



Lockheed Martin successfully launched a Guided Multiple Launch Rocket System Plus (GMLRS+) rocket recently in a test at White Sands Missile Range, NM.
The GMLRS+ rocket, which is equipped with a Semi-Active Laser (SAL) seeker, was fired from the High Mobility Artillery Rocket System (HIMARS) launcher. The rocket flew approximately 40 kilometers downrange, acquired the laser designated target and diverted over 150 meters to the target.
The GMLRS+ rocket is a Lockheed Martin internal research and development program to incrementally improve the combat-proven GMLRS Unitary program. GMLRS+ is anticipated to address operational needs including increased range, scalable effects and fleeting targets.
“We have a very high degree of confidence in the GMLRS program, based upon the tremendous track record of this combat-proven system,” said Scott Arnold, vice president of Precision Fires at Lockheed Martin Missiles and Fire Control. “As this GMLRS+ flight test demonstrated, we are adding new capabilities to the combat-proven GMLRS, giving the warfighter another highly reliable and accurate precision engagement weapon.”
Primary objectives for this GMLRS+ flight test were to demonstrate target acquisition and the ability to divert the missile to a laser-designated target; obtain technical data to support verification of the performance of the GMLRS+ rocket; and to validate seeker, rocket and launcher system software. Preliminary data indicate all test objectives were achieved. Additional launches of the improved GMLRS+ rocket are scheduled for 2011.
The current GMLRS Unitary rocket is successfully meeting the needs of the U.S. Army, U.S. Marine Corps and British Army artillery units in theater. To date, more than 1,900 GMLRS rounds have been fired in support of troops in ongoing military operations.
GMLRS is the world’s premier long-range precision artillery rocket designed specifically for destroying high-priority targets at ranges up to 70 kilometers. Successfully employed in both urban and non-urban environments, it is able to operate in all climate and light conditions while remaining beyond the range of most conventional weapons. Each GMLRS missile is packaged in a MLRS launch pod and is fired from the MLRS Family of Launchers.
Headquartered in Bethesda, Md., Lockheed Martin is a global security company that employs about 133,000 people worldwide and is principally engaged in the research, design, development, manufacture, integration and sustainment of advanced technology systems, products and services. The Corporation’s 2009 sales from continuing operations were $44.0 billion.

DEFENCE TALK

Dovutoglu: Turki Tidak Akan Diam Soal Iran !

 Ahmad Dovutoglu, Menteri Luar Negeri Turki mengatakan, "Turki tidak akan berpangku tangan soal transformasi regional, khususnya masalah program nuklir Iran."
Sebagaimana diberitakan IRNA Rabu (2912/) Dovutoglu menyampaikan pernyataan ini dalam sebuah wawancara eksklusif program politik ‘Studi Komprehensif" televisi Turki kanal 1.
Saat ditanya oleh presenter soal perhatian Turki pada program nuklir sipil Iran, Dovutoglu menjawab, "Tidak boleh ada yang berharap bahwa Turki akan diam soal masalah ini!"
"Transformasi beberapa tahun lalu di kawasan menunjukkan bahwa Turki berada dalam kisaran krisis regional, dan selama ini telah mengeluarkan biaya besar. Oleh karenanya, Ankara berhak untuk mengeluarkan pendapat terkait masalah Iran," tegas Menlu Dovutoglu.
Menteri Luar Negeri Turki ini menyebutkan harus ada upaya bilateral atau multilateral Turki terkait program nuklir Iran dan menjadikannya sebagai masalah biasa. Ditambahkannya, "Kenyataan ini harus diterima oleh semua pihak bahwa Turki mengikuti masalah ini dan melihatnya bagian dari kebijakan politik Ankara. Dan tampaknya bola telah kembali ke Turki."
"Turki tidak akan mengeluarkan biaya lagi terkait transformasi regional dan untuk tidak akan hanya menjadi penonton," ujar Dovutoglu.
Soal hubungan Turki dan rezim Zionis Israel, Menlu Dovutoglu mengatakan, "Israel harus meninggalkan kesalahan-kesalahan lalunya."
Dovutoglu menyatakan bahwa Turki secara transparan telah menyampaikan tuntutannya guna memperbaiki hubungan dengan rezim Zionis Israel. Ditambahkannya, "Turki tetap berusaha untuk menjamin perdamaian dan stabilitas kawasan. Bila Israel berusaha mendekati cara pandang Turki ini, maka sudah barang tentu Tel Aviv-lah yang diuntungkan."(IRIB/SL/PH)
IRIB

Uni Eropa, Cina Telah Terima Undangan Tur Nuklir Iran

Uni Eropa dan Cina mengkonfirmasikan telah menerima undangan Republik Islam Iran untuk melakukan tur ke fasilitas nuklir negara itu. Pada hari Selasa (4/1), Iran mengundang para duta besar kelompok geografis dan politik di Wina untuk mengunjungi fasilitas pengayaan uranium Natanz dan reaktor air berat di kota Arak.
"Kami dapat mengkonfirmasi penerimaan surat itu dengan duta besar kami untuk Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA)," ujar seorang jurubicara Komisi Eropa seperti dikutip situs Monsters and Critics. "Kami akan merespon pada waktunya setelah berkonsultasi dengan mitra internasional kami," tambahnya.
Sementara itu, Jurubicara Departemen Luar Negeri Cina, Hong Lei mengatakan, Cina telah menerima undangan dari Iran dan Beijing akan berkomunikasi dengan Tehran terkait masalah itu. (IRIB/RM)

IRIB

Ini Dia Kebijakan Baru Nuklir Iran

Wakil Tetap Iran di Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Ali Asghar Soltanieh menyatakan bahwa beberapa duta besar lembaga yang berbasis di Wina akan segera melakukan tur ke situs nuklir Iran. "Para duta besar kelompok geografis dan politik di Wina akan mengunjungi fasilitas pengayaan uranium Natanz dan reaktor air berat di kota Arak," kata Soltanieh seperti dikutip IRNA, Selasa (4/1).
"Program kunjungan itu sejalan dengan kebijakan transparan nuklir Republik Islam Iran," tambahnya. Ia mengatakan bahwa para duta besar yang bermarkas di Wina juga pernah melakukan kunjungan serupa ke Fasilitas Konversi Uranium Isfahan (UCF) pada tahun 2006.
Selama kunjungan yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 15-16 Januari mendatang, kelompok tersebut akan melakukan pertemuan dengan para pejabat Iran.
Sebelumnya pada hari Selasa, Jurubicara Kementerian Luar Negeri Iran Ramin Mehmanparast membenarkan undangan Tehran terhadap wakil dari berbagai negara ke situs-situs nuklir Iran.
"Undangan terhadap beberapa anggota kelompok 5+1, Uni Eropa, Kelompok 77 dan Gerakan Non Blok adalah inisiatif baru Iran dengan tujuan transparansi kegiatan damai nuklir Iran," ujar Mehmanparast dalam konferensi pers mingguan di Tehran.
Program itu diluncurkan menjelang perundingan Iran dengan kelompok 5+1 di Istanbul, Turki. (IRIB/RM)
IRIB

Iran Produksi Sistem Anti Rudal Cruise

Angkatan Laut Republik Islam Iran kini dilengkapi dengan sistem pertahanan pantai baru anti rudal Cruise. Proses penyerahan sistem pertahanan ini dihadiri oleh Menteri Pertahanan Ahmad Vahidi dan Panglima Angkatan Laut, Admiral Habibollah Sayyari. "Perencanaan dan produksi berbagai jenis sistem pertahanan pantai baik rudal jarak jauh maupun menengah Cruise menjadi program kerja industri angkatan laut dan kini kita saksikan kemajuan pesat di bidang ini," ungkap Vahidi saat acara penyerahan sistem pertahanan pantai anti rudal Cruise seperti dilaporkan IRNA Senin (3/1).
Menteri Pertahanan Iran menjelaskan, situs pertahanan ini terdiri dari tiga kelas, situs otomatis dan sejumlah situs yang meliputi sistem pelacak sasaran, pelontar rudal serta sistem radar pemandu roket. "Seluruh tahap pembuatan sistem ini ditangani sendiri oleh teknisi dalam negeri dari industri pertahanan angkatan laut Iran," tambah Vahidi.
Ia mengatakan, dengan penempatan sistem ini di pantai Iran maka militer negara ini mampu melacak dan menghancurkan sejumlah sasaran dari satu pusat komando. Dalam kesempatan tersebut, Vahidi menyampaikan penghargaannya atas usaha keras teknisi industri pertahanan laut militer Iran. Dijelaskannya, tak diragukan lagi pemanfaatan sistem ini selain menambah kemampuan pertahanan angkatan laut juga dapat meningkatkan jaminan keamanan serta stabilitas regional.
Vahidi dalam sambutannya juga mengutip pernyataan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei yang mengatakan, "kita harus berusaha keras untuk meningkatkan kemampuan pertahanan laut dan pantai kita." Dijelaskannya, dewasa ini kita telah mampu merealisasikan harapan Rahbar dengan menyelesaikan proyek pertahanan pantai canggih dengan kemampuan tinggi.
Menurut Vahidi kini kita dapat merasa lega karena dengan penyerahan sistem ini angkatan laut Iran dapat melaksanakan misinya berbahaya dalam mempertahankan perbatasan laut. (IRIB/IRNA/MF)

IRIB

Gadget Pendeteksi Sniper Besutan Inggris


0diggsdigg




Page 48 graphic
VIVAnews - Inggris saat ini tengah menguji sebuah senjata revolusioner yang dapat melacak lokasi penembak jitu pasukan musuh dengan cepat dan akurat dari jarak 1.000 yards atau sekitar 900 m.
Seperti dikutip dari DailyMail, perangkat kecil ini sudah dikembangkan oleh ilmuwan yang bekerja pada lab rahasia Defence Science and Technology Laboratory di Wiltshire, Inggris.
Perangkat bernama Boomerang Warrior-X itu mampu mendeteksi lokasi penembak jitu dengan cepat, sehingga pasukan Inggris akan bisa menyerang balik penembak jitu tadi.
Detektor ini menggunakan teknologi pemrosesan akustik yang canggih untuk mengevaluasi posisi musuh dengan menentukan koordinat target pada sebuah sebuah layar kecil sebagai indikatornya.
Warrior-X yang dilengkapi dengan prosesor yang memiliki detektor paling canggih di pasaran. Detektor itu telah juga dimodifikasi oleh ilmuwan militer AS untuk digunakan di Irak.
Saat musuh menembak, maka sistem akustik akan mengetahui arah tembakan musuh, dan display alat itu akan menunjukkan indikator panah yang memperlihatkan lokasi musuh.
Teknologi ini juga menggunakan sebuah software yang mampu menyediakan update secara berkala atas lokasi musuh, bahkan saat musuh sudah bergerak karena merasa tersudut.
Tak hanya itu, Warrior-X juga bisa terhubung dengan sistem senjata Joint Tactical Air Controllers untuk memberikan lokasi musuh yang tepat kepada pilot pesawat tempur yang hendak melakukan serangan udara.
Senjata yang secara resmi dikenal dengan nama Compact Soldier Worn Shooter-Detector System itu, tiap unitnya dijual seharga 10 ribu poundsterling atau sekitar Rp 140 juta.
Pasukan Inggris telah memesan 1.000 unit Warrior-X untuk digunakan di Provinsi Helmand Afganistan. Bila alat in terbukti membantu, Inggris akan melengkapi lebih banyak lagi pasukannya dengan gadget ini.
"Alat ini sedikit banyak bisa membantu pasukan untuk lebih menjaga keselamatan mereka. Model awal yang lebih besar dari alat ini telah digunakan oleh pasukan AS di Irak, juga di Afganistan. Namun, ini pertama bagi Inggris dan bisa dipandang sebagai alat yang revolusioner," ujar sumber senior militer Inggris.
Sumber: VIVANEWS

BERITA POLULER