Pages

Tuesday, November 25, 2025

Gara-gara Israel, Arab Saudi Mesti Rela Dapat Jet Tempur F-35 Versi Downgrade Jika Jadi Beli dari AS

 


F35 yang diincar arabsaudi

Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak setelah Amerika Serikat akhirnya memberikan lampu hijau untuk penjualan jet tempur siluman F-35 kepada Arab Saudi.

Meski merupakan salah satu pembeli senjata terbesar dari Washington, Riyadh ternyata tidak akan mendapatkan F-35 dengan spesifikasi penuh.

Keputusan ini disebut-sebut dipengaruhi tekanan politik dan pertimbangan strategis terkait hubungan khusus AS dengan Israel, yang selama ini menikmati versi F-35 paling canggih dibanding negara lain.

Persetujuan penjualan F-35 kepada Arab Saudi diumumkan saat kunjungan Putra Mahkota Mohammed bin Salman ke Washington.

Presiden Donald Trump saat itu menegaskan bahwa penjualan tersebut merupakan bagian dari penguatan hubungan pertahanan kedua negara.

Pesawat yang akan diterima Saudi adalah versi ekspor dengan kemampuan lebih rendah dari F-35 milik Amerika Serikat maupun Israel.

Jet tempur yang dikirim ke Saudi akan kehilangan sejumlah fitur penting. Di antaranya adalah sistem peperangan elektronik mutakhir, sejumlah persenjataan canggih, serta hak modifikasi internal yang selama ini menjadi keistimewaan Israel melalui F-35I Adir.

Israel bahkan memiliki kewenangan memodifikasi perangkat lunak F-35, memasukkan radar jamming, hingga integrasi senjata buatan lokal, sesuatu yang tidak akan diberikan kepada Arab Saudi.

Keputusan AS ini tidak lepas dari doktrin Qualitative Military Edge (QME), yaitu kebijakan yang ditetapkan agar Israel selalu memiliki keunggulan militer di kawasan Timur Tengah.

Israel telah lama menjadi satu-satunya operator F-35 di wilayah tersebut dan memiliki versi paling maju.

Pemerintah Israel tidak menolak secara langsung penjualan F-35 kepada Saudi, tetapi memberikan syarat agar langkah itu diiringi dengan normalisasi hubungan Israel-Saudi, sebuah rencana besar yang dikampanyekan pemerintahan Trump saat itu.

Meski begitu, Trump justru memisahkan pembahasan normalisasi dari penjualan senjata.

Dikutip dari CNN World edisi Rabu, 19 November 2025 berjudul "Why Trump's plan to sell F-35 jets to Saudi Arabia is so controversial." 

Menurut pengamat kebijakan luar negeri Nawaf Obaid, Washington tampak lebih fokus memastikan transaksi pertahanan tersebut berjalan lancar tanpa hambatan politik yang terlalu besar dari Israel.

Sikap ini membuat kesepakatan semakin kontroversial, sebab Saudi menjadi negara non-demokratis pertama yang berpotensi menerima F-35.

Meski catatan hak asasi manusia negara itu terus menjadi sorotan sejak kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018.

Masalah lain adalah dominasi Amerika Serikat dalam perangkat lunak F-35. Meski rumor kill switch dibantah keras oleh AS maupun Lockheed Martin, kedua pihak tetap memiliki kontrol penuh atas pembaruan dan izin penggunaan software pesawat tersebut.

Artinya, meskipun Arab Saudi membeli F-35 dalam jumlah besar, kemampuannya tetap sepenuhnya bergantung pada izin yang diberikan Washington.

Inilah yang membuat pesawat Saudi akan tetap inferior dibanding F-35 Israel yang mendapatkan tingkat akses sistem lebih tinggi.

Sementara itu, reaksi dari pejabat Israel terbelah.Mantan Kepala Staf Militer Israel Gadi Eisenkot mengkritik keras pemerintahan Netanyahu, menilai bahwa Israel tidak lagi mampu mengendalikan keputusan strategis AS terkait kawasan.

Namun, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu membantah kritik tersebut dan menyatakan bahwa AS telah menjamin keunggulan kualitas angkatan udara Israel tetap terjaga

Pernyataan tersebut disampaikan setelah Netanyahu berdialog langsung dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang menegaskan bahwa penjualan F-35 ke Saudi tidak akan mengancam superioritas Israel

Situasi semakin rumit setelah pembicaraan normalisasi Israel-Saudi yang sempat berkembang sejak Abraham Accords mengalami kebuntuan selama masa pemerintahan Biden.

Konflik baru yang menyusul setelah serangan 7 Oktober dan perang berkepanjangan di Gaza membuat Arab Saudi mengambil langkah lebih hati-hati dalam menanggapi upaya normalisasi.

Riyadh juga menuntut adanya jalur jelas menuju pembentukan negara Palestina jika Israel ingin kesepakatan ini berlanjut.

Menurut analis dari Foundation for Defense of Democracies, Hussain Abdul-Hussain, justru Arab Saudi berpotensi menjadi pihak yang paling untung bila berani melakukan normalisasi tanpa syarat 

Ia menilai bahwa kerja sama terbuka dengan Israel dapat mempercepat modernisasi ekonomi dan memperkuat posisi Riyadh dalam peta geopolitik Timur Tengah

Namun, kenyataannya Saudi tetap mempertahankan posisi tradisionalnya, menunggu adanya perubahan fundamental dari Israel sebelum melangkah lebih jauh.

Walau demikian, penjualan F-35 kepada Arab Saudi belum final.Administrasi Trump saat itu berupaya keras menyelesaikannya sebelum masa jabatannya berakhir.Jika disetujui penuh, proses produksi dan pengiriman diperkirakan membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Bahkan ketika jet tersebut tiba, Arab Saudi tetap tidak akan mendapatkan lebih dari dua skuadron. Di mana lebih sedikit dibanding Israel yang kini mengoperasikan dua skuadron dan tengah menuju skuadron ketiga.

Meski banyak kontroversi mengiringinya, penjualan F-35 versi downgrade kepada Arab Saudi menunjukkan bahwa diplomasi pertahanan di Timur Tengah kini tidak hanya ditentukan oleh kekuatan persenjataan.

Tetapi juga oleh kontrol perangkat lunak, hak modifikasi, serta aliansi politik yang telah berlangsung puluhan tahun antara AS dan Israel. Bagi Arab Saudi, F-35 tetap menjadi lompatan teknologi besar, namun posisinya tetap dibatasi agar tidak mampu menyaingi superioritas udara Israel.

 

sumber z jakarta

 

 

Modernisasi Kekuatan Udara Terbesar di Timur Tengah, Arab Saudi Akuisisi 48 Jet Siluman F-35 dan 60 F-15EX

 

F35

RIYADH - Arab Saudi sekarang menerapkan salah satu upaya modernisasi angkatan udara yang paling berdampak dalam sejarah militer Timur Tengah dengan rencana untuk mengakuisisi 60 pesawat tempur Boeing F-15X Eagle II dan 48 Lockheed Martin F-35 Lightning II, yang secara strategis akan mengubah keunggulan udara yang dinamis di wilayah tersebut.

F15ex

Dari Defense Security Asia, rencana mega-ekonomi multi-miliar dolar AS, yang timbul dari perkembangan di komunitas pertahanan Arab Saudi dan kegiatan diplomatik yang lebih dinamis antara Riyadh dan Washington, menandakan lonjakan besar dalam kemampuan tempur.

Royal Saudi Air Force (Angkatan Udara Kerajaan Saudi) ketika negara itu menghadapi ancaman rudal Iran, Houthi, dan lanskap keamanan regional yang berubah dengan cepat.

Pemilihan waktu untuk akuisisi ini signifikan karena bersamaan dengan munculnya keterlibatan profil tinggi Putra Mahkota Mohammed bin Salman dengan pemerintahan Trump untuk menandatangani kemitraan pertahanan dan teknologi jangka panjang yang memperkuat kedaulatan Arab Saudi sambil meningkatkan pengaruh geopolitik Amerika Serikat di Timur Tengah.

Paket pembelian, diperkirakan melebihi  142 miliar dolar AS termasuk pelatihan, persenjataan, sistem pendukung dan persyaratan pemeliharaan jangka panjang, memperkuat hubungan strategis yang mampu sepenuhnya mengubah doktrin preventif regional, keuntungan militer kualitatif Israel, dan keseimbangan kekuatan dari Teluk ke Indo-Pasifik.

Langkah modernisasi ini juga datang pada saat RSAF bergerak dari platform generasi keempat dari warisan ke armada hibrida yang mampu beroperasi di wilayah udara yang sangat defensif, termasuk lingkungan yang berada di bawah ancaman pertahanan udara Iran, sistem rudal jarak jauh, serta ancaman cepat dari sistem udara tak berawak.

Akuisisi ini juga sejalan dengan tujuan Visi 2030 Arab Saudi yang menekankan diversifikasi pertahanan negara, keterlibatan industri lokal, dan pengurangan ketergantungan pada platform warisan Eropa atau AS melalui integrasi perusahaan industri pertahanan Saudi ke dalam ekosistem produksi Amerika berteknologi tinggi.

Arab Saudi telah lama memiliki salah satu kekuatan penerbangan militer paling dominan di dunia Arab, dengan lebih dari 230 pesawat tempur yang mencakup F-15, Eurofighter Typhoon dan Panavia Tornado, dibangun untuk mempertahankan keunggulan udara atas Iran dan kekuatan proyek di daerah yang tidak stabil.

Armada F-15SA Arab Saudi, yang berjumlah sekitar 84 varian canggih yang diperoleh melalui kesepakatan 29,4 miliar dolar pada tahun 2010, memberikan lonjakan teknologi melalui kontrol fly-by-wire modern, avionik digital dan kemampuan serangan yang tepat, tetapi keuntungannya sekarang berada di bawah tekanan luar biasa karena evolusi ancaman saat ini

 

Serangan drone Dan rudal 2019 di fasilitas Aramco di Abqaiq dan Khurais menggunakan rudal jelajah jarak jauh dan amunisi yang berkeliaran telah menembus pertahanan udara Arab Saudi, memicu kebutuhan strategis untuk pesawat tempur siluman, jaringan pertahanan udara terintegrasi dan rudal, serta postur pencegahan berlapis-lapis.

Pengembangan rudal balistik, UAV SWARM, rudal jelajah Iran dan sistem hipersonik seperti Fattah telah memperluas spektrum ancaman, memaksa perencana strategis Riyadh untuk memprioritaskan platform yang mampu melakukan serangan jarak jauh, operasi penghindaran tinggi, serta kemampuan tempur di daerah-daerah dengan cakupan pertahanan udara yang kompleks.

Pengalaman RSAF dalam memukul mundur serangan drone dan rudal Houthi buatan Iran di Yaman telah mengungkap kesenjangan dalam kesadaran situasional, perlindungan pangkalan udara dan kemampuan untuk melakukan patroli terus menerus serta pencegahan jarak jauh di era eskalasi cepat.

Pembekuan pembicaraan F-35 oleh pemerintahan Biden setelah insiden Khashoggi sebelumnya menghambat ambisi Riyadh untuk memperoleh kemampuan pesawat tempur generasi kelima selama beberapa tahun, tetapi kemenangan Donald Trump dalam pemilihan 2024 membuka kembali ruang ketika Washington memposisikan kembali Arab Saudi sebagai skala strategis utama melawan Iran dan sebagai elemen stabilitas terhadap pengaruh Tiongkok yang semakin besar.

Terobosan besar dicapai pada 4 November 2025 ketika penilaian intelijen Pentagon menyetujui penghalang ekspor kritis yang sebelumnya mencegah akses Arab Saudi ke F-35, membuka jalan bagi paket pengadaan hingga 48 pesawat potensial senilai 142 miliar dolar termasuk dukungan

Konsultasi simultan untuk F-15EX, didorong oleh kebutuhan operasional serta penawaran kerja sama industri oleh Boeing, mencerminkan strategi pelacakan ganda yang meningkatkan kemampuan serangan penetrasi sublusi RSAF dan kapasitas serangan muatan tinggi dalam visi pengadaan terintegrasi.

Lockheed Martin F-35 Lightning II menandai masuknya Arab Saudi ke dalam kelompok eksklusif operator kapal induk tak terlihat generasi kelima dengan kemampuan untuk mengubah kapasitas negara dalam operasi superioritas udara, perang elektronik, serangan yang tepat, dan misi pengawasan intelijen dalam pertahanan Iran.

Akuisisi 48 unit varian CTOL ini merupakan lonjakan kualitatif dramatis dengan memperkenalkan platform multi-reportrol yang dioptimalkan untuk bertahan hidup di jaringan pertahanan udara kompak seperti sistem S-300PMU-2 Iran dan kemungkinan sistem S-400 Rusia.

 

Desain F-35 yang dapat diamati rendah secara signifikan mengurangi jejak radar, memungkinkan pilot Saudi untuk beroperasi jauh di wilayah udara Iran, di mana pesawat generasi keempat konvensional akan menghadapi risiko signifikan terutama pada dini hari konflik.

Radar pesawat AESA AN/APG-81, dikombinasikan dengan sistem penargetan elektro-optik dan sistem aperture terdistribusi, menciptakan gambaran medan tempur 360 derajat yang terintegrasi, memungkinkan pilot Saudi untuk mendeteksi ancaman sebelum mereka terdeteksi oleh musuh.

Ruang senjata internal F-35 mampu membawa hingga 5.700 pon senjata berpemandu dalam konfigurasi penuh siluman, dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas tembak hingga 18.000 pound melalui pencangkokan eksternal dalam operasi non-silumen.

Kombinasi siluman dan senjata memberi Arab Saudi kapasitas serangan pertama yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama dalam skenario yang melibatkan infrastruktur nuklir Iran, pangkalan rudal balistik, dan aset komando IRGC-QF.

MADL F-35 mengamankan link data meningkatkan kemampuan perang yang berpusat pada jaringan, yang memungkinkan pesawat F-35 Saudi untuk berbagi data target dengan aset AS, sekutu Teluk dan sistem Saudi AWCS masa depan di bawah jaringan “rich chain” terintegrasi.

Harga satuan sekitar 80 juta dolar tidak mencerminkan biaya keseluruhan program yang melebihi 10 miliar dolar AS setelah mempertimbangkan pelatihan, infrastruktur pemeliharaan serta kebutuhan penanganan teknologi sensitif.

Arab Saudi setara dengan kekuatan Indo-Pasifik seperti Jepang, Korea Selatan dan Australia, yang menggunakan F-35 sebagai elemen pencegahan terhadap ancaman Tiongkok dan Korea Utara.

Perjanjian F-35 juga memicu kekhawatiran Israel bahwa akses Arab Saudi ke platform tersebut dapat mengurangi keuntungan militer kualitatifnya meskipun ada 75 unit F-35I di negara itu.

Para pejabat pertahanan AS terus memperingatkan mata-mata Tiongkok tentang teknologi F-35 melalui serangan cyber atau rute kerja sama industri, terutama mengingat keterlibatan Huawei dalam infrastruktur digital Arab Saudi.

Sumber Koran Jakarta

 

 

Friday, October 17, 2025

Prancis mengizinkan Indonesia membeli Rafale? dan Alasan utama kerjasama Indonesia-Prancis

 


Prancis mengizinkan Indonesia membeli Rafale karena adanya kesepakatan strategis yang saling menguntungkan, termasuk transfer teknologi yang menjadi prioritas Indonesia, jaminan suplai suku cadang tanpa ancaman embargo, dan kerja sama industri pertahanan jangka panjang. Selain itu, hubungan bilateral antara Indonesia dan Prancis yang kuat serta kebutuhan Indonesia untuk memodernisasi alutsistanya menjadi faktor penting dalam keputusan ini.

Alasan utama kerjasama Indonesia-Prancis

Transfer Teknologi dan Kemandirian: Kesepakatan ini mencakup transfer teknologi, kerja sama industri, riset dan pengembangan, serta pemeliharaan di dalam negeri. Hal ini sejalan dengan target Indonesia untuk membangun kemandirian di sektor pertahanan.

Jaminan Pasokan dan Tanpa Embargo: Pembelian Rafale dari Prancis memberikan keuntungan berupa jaminan suplai suku cadang yang terjamin dan terhindar dari ancaman embargo, berbeda dengan negara lain yang mungkin lebih rentan terhadap tekanan politik.

Kemitraan Strategis: Kesepakatan ini memperdalam hubungan pertahanan kedua negara dan menempatkan Indonesia sebagai mitra strategis Prancis di kawasan Indo-Pasifik.

Pesawat Tempur Berkualitas Tinggi: Rafale adalah jet tempur generasi 4,5 yang canggih dengan berbagai kemampuan, termasuk kemampuan multi-misi, radar dan sensor yang canggih, serta bahan bakar yang irit.

Kebutuhan Alutsista Indonesia: Pembelian ini juga didasari oleh kebutuhan mendesak untuk mengganti armada lama seperti F-5 yang sudah tua, serta untuk memperkuat pertahanan udara Indonesia secara keseluruhan.

PT Dirgantara Indonesia dan Havelsan akan bermitra mengembangkan pesawat jenis AWACS (Airborne Early Warning and Control).

 


Perusahaan kedirgantaraan milik negara Republik Indonesia, PT Dirgantara Indonesia dan perusahaan teknologi pertahanan milik negara Turkiye, Havelsan akan bermitra mengembangkan pesawat jenis AWACS (Airborne Early Warning and Control). 

Kesepakatan itu terjalin dalam Indonesia-Türkiye Business Forum yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan The Foreign Economic Relations Board of Turkey di Hotel The Ritz-Carlton, Jakarta, pada ha Rabu, (12/02/2025). 

Untuk proyek pesawat AWACS ini, PT Dirgantara Indonesia menjadi kontraktor utama yang menyiapkan tenaga ahli dalam pembuatan desain, perakitan, produksi, pengujian, serta hingga pemeliharaan. Para teknisi itu akan bekerjasama dengan perwakilan Havelsan. Khusus untuk mesin simulasi, PT Dirgantara Indonesia membuka joint technology development untuk Havelsan. 

Berdiri sejak 1982, Havelsan Turkiye telah mengembangkan 90 persen perangkat lunak sistem pesawat AWACS di Turkiye. Pesawat AWACS tersebut memiliki kemampuan deteksi dini, pengawasan udara, serta manajemen pertempuran berbasis udara yang terintegrasi.

BERITA LAINNYA

TEMPO.CO, Bandung - PT Dirgantara Indonesia (Persero) atau PTDI dan Havelsan, perusahaan teknologi pertahanan asal Turki, akan bermitra mengembangkan pesawat Airborne Early Warning and Control alias AWACS. Kesepakatan itu terjalin dalam Indonesia-Türkiye Business Forum yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan The Foreign Economic Relations Board of Turkey (DEK) di Hotel The Ritz-Carlton, Jakarta, pada Rabu, 12 Februari 2025.

Direktur Utama PTDI Gita Amperiawan dan Chief Executive Officer Havelsan Mehmet Akif Nacar, dalam agenda tersebut, juga menyepakati kolaborasi pengembangan simulator penerbangan pesawat CN235-220. “Kami optimis dapat menghadirkan solusi yang tidak hanya mendukung kemandirian pertahanan Indonesia, tetapi juga berkontribusi bagi pasar global,” ucap Gita melalui keterangan pers yang diterima Tempo pada hari penandatanganan perjanjian tersebut.

Untuk proyek pesawat ini, PTDI menjadi prime contractor yang menyiapkan tenaga ahli dalam pembuatan desain, perakitan, produksi, pengujian, serta hingga pemeliharaan. Para teknisi itu akan bekerjasama dengan perwakilan Havelsan. Khusus untuk mesin simulasi, PTDI membuka joint technology development untuk Havelsan.

Sebagai pabrikan pesawat pelat merah di Indonesia, PTDI berpengalaman mengembangkan simulator penerbangan untuk berbagai jenis pesawat, mulai dari N250 Engineering Flight Simulator; CN235-220 Operational Flight Trainer; serta N219 Engineering Full Flight Simulator. Perseroan juga pernah menggarap simulator helikopter, yakni NAS332 Full Flight Simulator dan H225M Full Flight Simulator.

Havelsan juga terbiasa menggarap sistem visual canggih yang diharapkan bisa menyokong simulasi berkualitas tinggi. PTDI dan Havelsan menargetkan pengembangan sistem simulator pesawat Level D yang sesuai dengan kebutuhan pertahanan Indonesia dan pasar global.

Kolaborasi ihwal AWACS dan simulator penerbangan itu ditandatangani saat gelaran Indonesia-Türkiye Business Forum yang diselenggarakan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia dan The Foreign Economic Relations Board of Turkey (DEK) di The Ritz-Carlton Hotel, Jakarta, Rabu, 12 Februari 2025. Pertemuan antar pengusaha Indonesia dan Turki tersebut dilakukan bersamaan dengan kunjungan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ke Indonesia.

 

 

 

 

 

Intip "Rahasia" Jet China J-10C: Sehebat Apa Lawan Rafale di Angkasa?



 Jakarta,CNBC Indonesia - Rencana pemerintah membeli Jet Tempur asal China, Chengdu J-10C telah menemui titik terang. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyetujui anggaran senilai US$9 miliar atau setara Rp146 triliun untuk akusisi alat utama sistem senjata (alutsista) modern ini yang nantinya akan menambah kekuatan alutsista Jet Tempur yang dioperasikan oleh TNI-AU.



Chengdu J-10 dengan julukan "Vigorius Dragon" merupakan jet tempur generasi 4,5 dengan kemampuan multirole. Pesawat ini dibuat oleh Chengdu Aircraft Industry Corporation (CAIC) yang merupakan anak perusahaan Aviation Industry Corporation of China (AVIC). Saat ini, hanya ada dua negara yang mengoperasikan J-10 yakni, China dan Pakistan.

Proyek ini berawal pada pertengahan 1980-an melalui program rahasia bernama Project 8610, yang bertujuan mengembangkan pesawat tempur superioritas udara buatan dalam negeri untuk menandingi sistem generasi ke-4 Rusia dan Barat.

Dalam proses pengembangannya, sejumlah analis pertahanan menyebut bahwa desain J-10 memiliki kemiripan dengan proyek jet tempur IAI Lavi asal Israel yang dibatalkan pada 1980-an. Meski demikian, pihak China membantah dugaan tersebut dan menegaskan bahwa J-10 merupakan hasil pengembangan murni industri dirgantara dalam negeri.

Pesawat ini melakukan penerbangan perdananya pada 23 Maret 1998 dan resmi diperkenalkan pada 2005, setelah hampir dua dekade pengujian. Sejak saat itu, J-10 berkembang menjadi platform tempur serbaguna (multirole fighter) dengan kemampuan air-to-air dan air-to-ground.

Hingga kini, J-10 telah berevolusi dengan beberapa varian. Mulai dari J-10A sebagai versi dasar, J-10B, Hingga J-10C dan J-10E. Varian ekspornya, J-10CE saat ini juga dioperasikan oleh Angkatan Udara Pakistan (PAF). 
J-10C



Berikut ini Spesifikasi Chengdu J-10.

Mesin Hingga Performa J-10

Chengdu J-10 awalnya dirancang untuk menggunakan mesin turbofan buatan dalam negeri Tiongkok, WP-15, namun proyek tersebut akhirnya digantikan oleh mesin dari Rusia yakitu, Salyut AL-31F. Mesin ini mampu menghasilkan daya dorong hingga 27.557 pon (lbf) dengan sistem afterburner, memberikan kemampuan akselerasi luar biasa bagi J-10.

Mesin AL-31F dikenal tangguh dan telah terbukti digunakan pada jet tempur Sukhoi Su-27 Flanker. Versi yang dipasang pada J-10 telah dimodifikasi khusus agar sesuai dengan kebutuhan pesawat tempur China ini.

Mesin WS-10A memiliki dorongan sekitar 24.700 pon, sedikit lebih rendah dibanding AL-31F, namun memberikan keuntungan besar dari sisi kemandirian teknologi dan biaya operasional.

Secara umum, kemampuan mesin ini memungkinkan J-10 untuk terbang dengan kecepatan maksimum Mach 2,2 di ketinggian jelajah tinggi dan mencapai ketinggian operasi hingga 65.000 kaki atau sekitar 19.800 meter. Dengan jangkauan sekitar 2.500-3.000 KM. 

Daya dorong kuat inilah yang menjadikan J-10 mampu bersaing dengan jet tempur sekelas F-16 asal Amerika Serikat atau MiG-29 buatan Rusia.

J-10 juga dilengkapi dengan sistem Fly-by-wire dalam mekanisme kendali pesawat.

Teknologi ini berkeja dengan menerima input dari pilot melalui flight control di cockpit, kemudian diproses oleh komputer sebelum diteruskan ke permukaan kendali seperti sayap dan vertical stabilizer.

Sistem Persenjataan Chengdu J-10

Persenjataan Yang Dapat Dibawa Chengdu J-10

Table with 3 columns and 7 rows. (column headers with buttons are sortable)
1GunType 23-3 twin-barrel cannon, kaliber 23mm
2Jumlah Hardpoints11 (6 di bawah sayap, 5 di bawah badan pesawat)
3Rudal air-to-airPL-8, PL-9, PL-11, PL-12
4Rudal air-to-groundPJ-9, YJ-9K
5Bom Pintar & bom biasaLT-2 (laser-guided), LS-6 (satellite-guided), bom 250–500 kg
6Tangki Eksternal3 tangki bahan bakar eksternal: 1x 450 galon (badan), 2x 212 galon (sayap)
7Pod Avionik & Sistem EksternalFILAT, Blue Sky pod, BM/KG300G jamming pod, KZ900 recon pod, Type Hongguang IR pod

J-10 dibekali dengan Gun Double Barrel Tipe 23-3 dengan kaliber 23 mm yang terpasang di bagian bawah badan pesawat. Selain itu, pesawat ini memiliki 11 titik gantung (hardpoints) yang memungkinkan pembawaan berbagai jenis senjata mulai dari rudal air-to-air dan air-to-ground, serta, bom, maupun rocket pod.



Dalam konfigurasi udara-ke-udara, J-10 mampu membawa rudal seri PL-8, PL-9, PL-11, dan PL-12. Rudal PL-9, misalnya, merupakan rudal jarak pendek berpemandu inframerah yang mampu melaju hingga kecepatan Mach 3, sedangkan PL-12 memiliki jangkauan menengah (beyond visual range/BVR) yang setara dengan AIM-120 AMRAAM milik Amerika Serikat.

Untuk misi udara-ke-darat, J-10 dapat mengangkut rudal PJ-9 dan YJ-9K, serta bom pintar berpemandu laser seperti LT-2, atau bom luncur berbasis satelit LS-6. Pesawat ini juga bisa membawa berbagai jenis bom konvensional dengan berat antara 250-500 kg, menjadikannya ideal untuk operasi serangan darat presisi tinggi.


Pesawat ini juga dapat dilengkapi berbagai pod avionik eksternal untuk meningkatkan efektivitas tempur. Sistem-sistem tersebut memungkinkan J-10 untuk menjalankan misi serangan, pengintaian, hingga peperangan elektronik dengan akurasi tinggi.

                                   Rafale membawa rudal SCLAP, Meteor dan Mica


Perbandingan Dengan Dassault Rafale

Selain Chengdu J-10C, Indonesia juga tengah menanti kedatangan jet tempur Rafale buatan Dassault Aviation asal Prancis. Pesawat tempur generasi 4.5 ini telah resmi dipesan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2022 sebagai bagian dari upaya modernisasi kekuatan udara nasional.





Rafale
Kementerian Pertahanan RI telah menyepakati pembelian 42 unit jet tempur Rafale dalam kontrak senilai US$ 8,1 miliar, termasuk paket persenjataan dan dukungan logistik komprehensif.


Menurut jadwal, pengiriman unit pertama Rafale ke Indonesia akan dimulai pada awal tahun 2026, menandai babak baru dalam peningkatan kesiapan dan modernisasi pertahanan udara nasional.

Berikut ini perbandingan antara Rafale dan J-10C:

Head to Head Chengdu J-10C Vs Dassaulf Rafale 

Table with 3 columns and 16 rows. (column headers with buttons are sortable)
Negara ProdusenChinaPrancis
Generasi4.54.5
TipeMultirole / Air Superiority FighterMultirole / Air Superiority Fighter
Kecepatan Maksimum (Mach)1.81.8
Jangkauan (km)2.500 – 3.0003.700
Ketinggian Maksimum (ft)59.00050.000
Jumlah Hardpoints1114
RadarKLJ-7A AESAThales RBE2 AESA
Sistem RudalPL-15, PL-10, KD-88, YJ-91Meteor, MICA, SCALP, Exocet
Panjang (m)16,915,3
Rentang Sayap (m)9,7510,8
Tinggi (m)5,435,34
Berat Kosong (kg)8.84010.300
Berat Lepas Landas Maksimum (kg)19.27724.500
Jumlah Pesanan Indonesia*42 Unit42 Unit
Nilai KontrakUS$9 miliarUS$8,1 miliar


CNBC INDONESIA RESEARCH 

research@cnbcindonesia.com

jet-china-j-10c-sehebat-apa-lawan-rafale-di-angkasa

Download Apps CNBC Indonesia sekarang https://app.cnbcindonesia.com/

BERITA POLULER