Para petinggi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Rusia hari ini (Senin 4/7) menggelar pertemuan di kota Sochi, Rusia. Dijadwalkan pertemuan ini akan membicarakan krisis di Libya. Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma yang gigih mengupayakan jalur diplomatik untuk menyelesaikan krisis di Libya juga hadir dalam pertemuan ini. Rusia di kasus Libya menentang keras serangan militer NATO yang diklaim demi melindungi nyawa warga sipil dari brutalitas Muammar Gaddafi. Menurut Rusia, NATO telah menyeleweng dari wewenang yang diberikan PBB serta berusaha menjatuhkan Gaddafi. Alexander Grushko, deputi Menteri Luar Negeri Rusia kemarin mengatakan, langkah NATO menyerang Libya sejatinya melanggar komitmen mereka sendiri terkait penghormatan terhadap hak-hak internasional yang mereka sepakati di KTT NATO di Lisbon Desember 2010.
Menurut Grushko, langkah NATO di Libya keluar dari koridor resolusi Dewan Keamanan PBB no. 1970 dan 1973. Dewan Keamanan pada 26 Februari meratifikasi resolusi nomor 1970 terkait larangan zona terbang di Libya dengan 10 suara mendukung dan lima suara menolak. Rusia dan Cina termasuk negara yang menentang resolusi ini.
Dewan Keamanan juga merilis resolusi nomor 1973 pada 17 Maret yang menekankan pentingnya menjaga keselamatan warga sipil di Libya. Kali ini Rusia pun menentang resolusi tersebut. Menurut Grushko, Rusia berusaha menciptakan iklim yang tepat guna memulai dialog di Libya dengan harapan Tripoli mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa intervensi asing.
Saat ini, pemerintah Rusia tidak mendukung rezim Gaddafi, namun juga menentang operasi militer NATO. Sejatinya para petinggi Rusia melihat langkah NATO tersebut mengancam kepentingan Moskow. Perusahaan minyak Rusia menanam saham cukup besar di bidang minyak dan energi di Libya. Tripoli dan Moskow juga menandatangani sejumlah kontrak pembelian senjata. Oleh karena itu, penghentian serangan NATO ke Libya sangat penting bagi Rusia.
Selain itu, lengsernya diktator Gaddafi serta berkuasanya pemerintahan baru yang sehaluan dengan kebijakan Barat bukan masalah yang mudah diterima Rusia. Apalagi jika sampai Barat menguasai cadangan besar minyak Libya. Dari sinilah mudah dipahami mengapa Rusia bersikeras menyelesaikan krisis di Libya melalui jalur damai.
Pengiriman Mikhail Margelov ke Benghazi oleh Presiden Dmitry Medvedev dilakukan dalam koridor ini. Margelov juga telah melakukan perundingan dengan dua kubu di Libya meski perundingan tersebut belum memberikan hasil yang jelas dan dapat diterima kedua pihak. (IRIB/MF)
IRIB