Hampir mustahil pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) di berbagai negara dilakukan murni antarpemerintah atau G to G (government to government). Alasan utamanya karena sebagian besar negara tidak lagi menjadi pemilik dari produsen senjata.
Demikian yang diungkapkan pengamat militer dan kebijakan luar negeri dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, kepada VOA, Rabu sore.
Penunjukan pihak ketiga, menurut Andi, adalah langkah wajar, seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan Rosoboronexport; agen penjualan resmi yang ditunjuk pemerintah Rusia untuk pembelian enam pesawat Sukhoi.
“Tidak ada pemahaman bersama tentang proses pengadaan alutsista, tidak ada transparansi data tentang nilai kontrak, dan tentang komponen-komponen yang diatur dalam kontrak tersebut sehingga interpretasinya relatif sederhana,” ujar Andi Widjajanto.

Mengenai tudingan Indonesian Corruption Watch (ICW) soal pemerintah yang tidak transparan, Andi mengatakan berdasarkan UU proses pembelian senjata termasuk hal yang dikecualikan.

Andi menambahkan, “Dalam UU Kebebasan Informasi Publik proses pengadaan senjata memang termasuk dalam hal-hal yang dikecualikan. Kementerian Pertahanan tidak wajib mempublikasikan, bahkan harus menerapkan prinsip kehati-hatian.”
Wella Sherlita
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro saat memberikan penjelasan mengenai pembelian enam pesawat tempur Sukhoi dari Rusia (7/3).
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro membantah telah melakukan penggelembungan anggaran dalam pembelian enam pesawat Sukhoi. Soal perbedaan harga pesawat yang jauh berbeda, Purnomo mengatakan itu akibat inflasi di Rusia.
“Yang akan kita lakukan adalah membangun skuadron kekuatan tempur kita, yaitu skuadron Sukhoi jumlahnya 16. Kita punya 10 sekarang, jadi masih kurang 6. Enam itulah yang kita beli. Dulu pembelian pertama tahun 2007, lalu sekarang ada kontrak tahun 2012 tentu harganya berbeda. Beli makanan pun tahun 2007 dan 2012 berbeda. Tapi perbedaannya tidak banyak, karena perbedaan itu hanya untuk meng-cover inflasi. Jadi tidak ada perbedaan signifikan yang mengesankan mark-up (penggelembungan angka),” jelas Purnomo.

Sedangkan mengenai perbedaan harga kontrak antara Indonesia dengan Vietnam, Purnomo menegaskan itu karena perbedaan kebutuhan dan spesifikasi pesawat.
“Hati-hati kalau melihat nilai kontrak, karena nilai kontrak kita dengan Vietnam mungkin berbeda. Kalau di kita kontraknya selain beli Sukhoi juga beli peralatan lain. Mesin yang kita dapatkan itu tidak enam sesuai jumlah pesawat, tetapi 12. Jadi tolong jangan dibandingkan apple to apple (persis sama) karena yang dibeli Vietnam mungkin lain dengan yang kita beli. Beli mobilpun kadang-kadang peralatannya beda, velg-nya racing yang satu bukan velg racing, jadi harganya beda,” ungkap Purnomo.

Sebelumnya, Wakil Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menuding Kementerian Pertahanan lebih memilih menggunakan skema kredit komersial atau kredit ekspor, yang jangka pengembaliannya cepat, dikenakan biaya-biaya bank, dan bunganya lebih tinggi berdasarkan rate pasar. Padahal pemerintah Rusia telah menyediakan fasilitas kredit untuk pembelian alutsista Indonesia senilai 1 milliar dolar Amerika.
Adnan menilai ada indikasi ketidakwajaran, di mana Indonesia membeli satu Sukhoi dengan harga 83 juta dolar Amerika. Sementara jika dibandingkan dengan harga resmi yang dipublikasikan Rosoboronexport, per Agustus 2011, harga Sukhoi 30 MK sebesar 60-70 juta dolar Amerika per unit.